Pejalan Kaki yang Tersakiti


Kembalikan hak kami!
Kembalikan hak kami!

Mungkin pembaca rada bingung karena tumben tumbennya gue teriak teriak kayak orang demo (emang demo sih ceritanya...). Ada sebab ada akibat. Segala sesuatu yang terjadi pasti ada biang keladi permasalahan. Termasuk kenapa gue teriak teriak untuk menuntut hak gue. Hak apa? Hak pejalan kaki! Untuk apa? Untuk bisa berjalan dengan nyaman dan aman!

Kita semua tau kalau dunia yang kita tempati sekarang ini sedang giat giatnya berkembang. Perkembangan itu sendiri terjadi di berbagai macam aspek kehidupan. Sosial, ekonomi, budaya, dan yang lainnya. Lihat saja perkembangan teknologi zaman sekarang. Siapa sih yang nggak punya handphone? Saya yakin lah semua pembaca setia di sini masing-masing punya handphone, minimal satu. Handphone itu sendiri juga berkembang pesat. Dari ukuran batu bata, berkembang semakin kecil, dan kemudian berkembang lagi menjadi sebesar talenan untuk motong bawang dan cabai.

Yang ingin gue permasalahin di sini tentu saja bukan ukuran handphone/smartphone yang menyaingi ukuran talenan Chef Marinka atau Chef Juna, melainkan mengenai perkembangan lalu lintas dan kendaraan yang ada di negeri kita tercinta, Indonesia. Gue cukup lama hidup di kota kecil, kota pinggiran. Sampai tiba saatnya gue harus merantau untuk kuliah di salah satu kota besar di Indonesia, Denpasar. Sebagai ibukota dari provinsi Bali, tentunya Denpasar mempunyai daya tarik tersendiri, terutama pariwisatanya. Walaupun tingkat kuantitas pariwisatanya masih kalah dari Kabupaten Badung, tetap saja Denpasar ini menjadi primadona bagi wisatawan asing maupun domestik serta mereka yang bermodalkan nekat untuk mengadu nasib di Kota Denpasar.

Tak ayal, Kota Denpasar ini menjadi semakin ramai dan penuh sesak. Sama seperti kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia semisal Surabaya, Medan, Makassar, dan tentu saja Jakarta. Mereka yang hidup menetap di kota besar ini tak hanya membutuhkan tempat tinggal melainkan juga kendaraan. Ya, ini juga yang menyebabkan lalu lintas di kota besar menjadi amat sangat padat. Terutama di jam sibuk seperti jam masuk kantor, jam makan siang, serta jam pulang kantor.

Gue yakin para pembaca juga tau. Untuk mendapatkan kendaraan semakin lama semakin mudah. Hanya dengan bermodalkan KTP pun, seseorang bisa membawa pulang sepeda motor dengan cara kredit. Oleh karenanya semakin banyak saja kendaraan yang ada di jalanan, terutama sepeda motor. Yang bikin gue heran setengah mampus, pemerintah tentunya sudah tau kalau dengan ini bakalan semakin banyak kendaraan yang berseliweran di jalan, kenapa? Karena mereka tentunya juga harus tau mengenai data jumlah kendaraan yang masuk ke Indonesia lewat jalur impor. Kenapa mereka begitu mudahnya memberikan izin kendaraan-kendaraan yang terutama datang dari Jepang tanpa memperhatikan kuantitas dan kualitas jalan yang ada di Indonesia. Menurut gue, jumlah jalanan yang ada di Indonesia, terutama kota-kota besar nggak sebanding dengan jumlah kendaraan yang ada. Seharusnya sih menurut gue, pemerintah membangun terlebih dahulu infrastruktur jalanan, seperti membuka jalan baru, jalan layang non tol dan sebaginya, baru mengizinkan kendaraan-kendaraan impor itu untuk masuk ke pasaran Indonesia.

Kebanyakan yang ada sekarang, dikala jalanan sudah terlampau jenuh dengan banyaknya kendaraan, eh.. ditambah lagi dengan proses perbaikan jalan. Misalnya saja pembangunan jalur Bus Trans Jakarta, jalur Monorail, jalur underpass di seputaran Simpang Dewa Ruci Denpasar, serta tempat lainnya di seluruh Indonesia. Padahal selama ini jalanan tersebut sudah luar biasa macetnya, ditambah lagi proyek pengerjaan jalan yang tentu saja juga memakan sebagian badan jalan. Bisa dibayangkan bagaimana parahnya kemacetan yang terjadi.

Ironisnya, pembangunan jalan tidak dibarengi dengan pembangunan fasilitas bagi pejalan kaki. Ya.. seakan-akan kendaraan itu adalah raja. Tidak ada tempat bagi pejalan kaki. Banyak kasus dimana trotoar yang menjadi satu-satunya akses yang (seharusnya) aman bagi pejalan kaki, mau tak mau harus dibongkar dengan alasan untuk pelebaran badan jalan. Kalaupun trotoar tersebut masih utuh, para pejalan kaki harus tetap mengalah dengan banyaknya kendaraan yang melaju di atas trotoar atau pedagang kaki lima yang berjualan di atas trotoar. Selebihnya, banyak trotoar yang tak layak pakai, terlalu dekat dengan badan jalan dan berlubang pula.

Gue sendiri bingung, harus kemana untuk menyampaikan unek-unek gue ini. Apakah negara maju itu dilihat dari perkembangan kendaraan yang ada di jalanan? Gue rasa nggak... Lihat saja kota seperti London di Inggris atau Berlin di Jerman. Gak usah jauh-jauh deh, Sidney di Australia... Mereka tergolong negara yang maju dan sebagian besar dari mereka memilih untuk berjalan kaki atau naik kendaraan umum. Negeri mereka sangat menghargai pejalan kaki dan pesepeda. Fasilitas yang lengkap dan terawat, sangat bertolak belakang dengan negeri kita tercinta ini...

Ada yang punya keluhan sama? Atau ada usul?
Share di comment box ya!

0 comments :

Copyright © 2014 Simplicity .